Minggu, 24 Mei 2015

HADAST DAN HADIS



MAKALAH AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN
 HADAST DAN HADIS




Nama: Ega octavia (2013820038)


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013-2014



KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat, inayah serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul “HADAST DAN NAJIS” tanpa halangan apapun.
Makalah ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah Islam Kemuhammadiyahan 2 di universitas muhammadiyah jakarta. Makalah ini berisi tentang pengertian dan pembahasan mengenai pengertian hadast dan hadist.
Makalah ini Alhamdulillah dapat terselesaikan tepat waktu atas usaha, do’a, serta dukungan dari anggota (Penulis). Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dosen AIK yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun makalah ini kemudian mempresentasikannya untuk bahan diskusi kelas.
Saya  sebagai manusia biasa yang lemah tentunya mempunyai kekurangan. Saya menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dan akan saya terima dengan lapang demi kesempurnaan makalah berikutnya. Atas kekurangan tersebut, saya mohon maaf, dan kami juga sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini, semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.









DAFTAR ISI
1.      KATA PENGANTAR  ………………………………………………………...…i
2.      DAFTAR ISI …………………………………………………...………………..…ii
BAB I PENDAHULUAN 
1.      Latar belakang ……………………………………………….…...…..…
2.      Rumusan masalah ………………………………………..…………....
3.      Tujuan  …………………………………………….............................
BAB II PEMBAHASAN
1.      Pengertian hadast dan najis ...........................................
2.      Macam – macam air ......................................................
3.      Perbedaan hadast dan najis ............................................
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
                                                                                                                                                                              
                                                                                                                                                                              








BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang
Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani selain rohani. Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.
Namun, yang terjadi sekarang adalah, banyak umat muslim hanya tahu saja bahwa bersuci itu sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau istilah dalam istilah Islam yaitu “Thaharah” mempunyai makna yang luas tidak hanya berwudhu saja.
Pengertian Hadast adalah kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seseorang muslim, menyebabkan terhalangnya orang itu melakukan shalat atau tawaf. Artinya shalat dan tawaf yang dilakukan tidak sah karena dirinya dalam keadaan tidak berhadast dan pengertian najis Menurut bahasa artinya semua hal yang kotor, sedangkan najis menurut istilah adalah sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikan yang harus disucikan karena menyebabkan tidak sahnya melaksanakan suatu ibadah.

B.          Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari hadast dan najis ?
2.      Macam-macam hadast dan najis ?
3.      Macam-macam Air ?
4.      Perbedaan hadas dan najis ?

C.          Tujuan
1.      Sarana berbagi ilmu pengetahuan tentang islam khususmya mengenai hadas dan najis secara lebih jelas dan rinci.
2.      Sarana dakwah karena saling mengingatkan pentingnya mempelajari ilmu thaharah sebagai syarat suci dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
3.      Menyiarkan bahwa mempelajari ilmu thaharah itu adalah suatu keharusan dan kebutuhan bagi umat islam, karena di dalamnya terdapat berbagai syar’i yang wajib diketahui dan diamalkan oleh seorang muslim.





























BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian hadast dan najis
Hadast adalah kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seseorang muslim, menyebabkan terhalangnya orang itu melakukan shalat atau tawaf. Artinya shalat dan tawaf yang dilakukan tidak sah karena dirinya dalam keadaan tidak berhadast. Menurut ahli fikih sebab seorang dihukumkan dirinya dalam kondisi berhadast, ada dua kelompok :
a.       Hadas kecil
Mengeluarkan sesuatu dari dubur dan atau kubul yang berupa
·         Air kencing
·         Tinja
·         Kentut
b.      Hadast besar
·         Mengeluarkan mani
·         Hubungan kelamin
·         Terhentinya haid dan nifas
Cara mensucikannya :
Ø  Hadas kecil atau hadas ringan untuk mensucikannya diwajibkan berwudhu.
Ø  Hadas besar, untuk mensucikannya diwajibkan mandi sesuai dengan syara dan bila dalam kondisi darurat dapat bertayamum.
Menurut bahasa najis artinya semua hal yang kotor, sedangkan najis menurut istilah adalah sesutau yang dipandang kotor atau menjijikkan yang harus disucikan karena menyebabkan tidak sahnya melaksanakan suatu ibadah.
Macam-macam najis dan cara mensucikannya
a.      Najis ringan (najis mukhaffafah) yaitu najis yang cara mensucikannya cukup dengan cara memercikan air pada tempat yang terkena najis , contohnya kencing anak laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya.
b.      Najis sedang (najis mutawasittah) yaitu najis yang cara mensucikannya harus di cuci dengan bersih hingga hilang bekasnya, baunya, rasanya, contohnya darah haid, mani, nanah, dll. najis sedang ini terbagi atas dua bagian, yaitu
·         Najis hukmiah, yaitu yang tidak kita yakini adanya tetapi nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti : kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mensucikannya : najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena itu.
·         Najis ainiyah, yaitu najis yang masih ada zat, warna, rasa dan baunya, kecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkan sifat ini dimaafkan. Cara mensucikannya : hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.
c.       Najis berat (najis mughalladah) yaitu najis dengan cara mensucikannya harus dengan di cuci dengan menggunakan air sebanyak 7 kali siraman dan salah satu diantaranya di campur dengan debu atau tanah yang suci. Najis semacam ini hanya ada satu jenis saja. Yaitu pakaian atau bejana yang terkena jilatan anjing atau babi.
Najis yang di maafkan (najis ma’fu) najis yang sulit dikenal maka dapat di maafkan  meskipun ia tidak di cuci, misalnya : kaki dan ujung celana atau sarung yang terkena basa dan tidak dapat diamati najis atau bukan.

2.      Macam – macam air
A.      Air yang suci dan menyucikan (mutlak)
Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan (membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap (belum berubah) keadaannya, seperti air hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air.
Firman Allah SWT :
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (Al-Anfal:11)
Sabda Rasulullah SAW :       
“Dari Abu Hurairah r.a. telah bertanya seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw. Kata laki-laki itu , “ Ya Rasulullah, kami berlayar di laut dan kami hanya membawa air sedikit, jika kami pakai air itu untuk berwudhu, maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Jawab Rasulullah Saw., “ Air laut itu suci lagi menyucikan, bangkainya halal dimakan.” (Riwayat lima ahli hadits. Menurut keterangan Tirmidzi, hadits ini shahih)
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci menyucikan” , walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna, rasa, dan baunya) adalah sebagai berikut :
a.      Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
b.      Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
c.       Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan atau kiambang.
d.      Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.

B.      Air suci tetapi tidak menyucikan (Musta’mal)
Zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam bagian ini ada tiga macam air, yaitu :
a.       Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan sesuatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut diatas, seperti air kopi, teh dan sebagainya.
b.      Air sedikit kurang dari dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
c.       Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.
C.      Air yang bernajis
Air najis yaitu air yang sedikit atau banyak yang terkena najis sehingga berubah rasa atau baunya. Air yang termasuk bagian ini ada dua macam :
a.      Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik sedikit ataupun banyak, sebab hukumnya seperti najis
b.      Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit (berarti kurang dari dua kulah) tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan najis. Kalau air itu banyak, berarti dua kulah atau lebih, hukumnya tetap suci dan menyucikan.
Sabda Rasulullah Saw
“Air itu tak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau baunya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi)
“Apabila air cukup dua kulah, tidaklah dinajisi oleh suatu apapun.” (Riwayat lima ahli hadits)
D.     Air yang makruh (Musyammas)
Yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan, tapi tidak makruh untuk pakaian, kecuali air yang terjemur ditanah seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.
Sabda Rasulullah Saw
Dari aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka rasulullah saw berkata padanya, “Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.”[1] (Riwayat Baihaqi).

3.      Perbedaan antara hadats dengan najis
Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat.  Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.
Adapun najis maka dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.
Dari perbedaan di atas kita bisa melihat bahwa hadats adalah sebuah hukum atau keadaan, sementara najis adalah benda atau zat. Misalnya: Buang air besar adalah hadats dan kotoran yang keluar adalah najis, buang air kecil adalah hadats dan kencingnya adalah najis, keluar darah haid adalah hadats dan darah haidnya adalah najis.
Kemudian yang penting untuk diketahui adalah bahwa tidak ada korelasi antara hadats dan najis, dalam artian tidak semua hadats adalah najis demikian pula sebaliknya tidak semua najis adalah hadas.
Contoh hadas yang bukan najis adalah mani dan kentut. Keluarnya mani adalah hadas yang mengharuskan seseorang mandi akan tetapi dia sendiri bukan najis karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah shalat dengan memakai pakaian yang terkena mani, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah. Demikian pula buang angin adalan hadas yang mengharuskan wudhu akan tetapi anginnya bukanlah najis, karena seandainya dia najis maka tentunya seseorang harus mengganti pakaiannya setiap kali dia buang angin.
Contoh yang najis tapi bukan hadas adalah bangkai. Dia najis tapi tidak membatalkan wudhu ketika menyentuhnya dan tidak pula membatalkan wudhu ketika memakannya, walaupun tentunya memakannya adalah haram. Jadi, yang membatalkan thaharah hanyalah hadas dan bukan najis.
Karenanya jika seseorang sudah berwudhu lalu dia buang air maka wudhunya batal, akan tetapi jika setelah dia berwudhu lalu menginjak kencing maka tidak membatalkan wudhunya, dia hanya harus mencucinya lalu pergi shalat tanpa perlu mengulangi wudhu, dan demikian seterusnya.
Kemudian di antara perbedaan antara hadas dan najis adalah bahwa hadas membatalkan shalat sementara najis tidak membatalkannya. Hal itu karena bersih dari hadats adalah syarat syah shalat sementara bersih dari najis adalah syarat wajib shalat. Dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudri dimana tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam- sedang mengimami shalat, Jibril memberitahu beliau bahwa di bawah sandal beliau adalah najis. Maka beliau segera melepaskan kedua sandalnya -sementara beliau sedang shalat- lalu meneruskan shalatnya. Seandainya najis membatalkan shalat tentunya beliau harus mengulangi dari awal shalat karena rakaat sebelumnya batal. Tapi tatkala beliau melanjutkan shalatnya, itu menunjukkan rakaat sebelumnya tidak batal karena najis yang ada di sandal beliau. Jadi orang yang shalat dengan membawa najis maka shalatnya tidak batal, akan tetapi dia berdoa kalau dia sengaja dan tidak berdosa kalau tidak tahu atau tidak sengaja.
Dari uraian di atas kita bisa memetik beberapa perbedaan antara hadas dan najis dikalangan fuqaha` yaitu:
a.      Hadas adalah hukum atau keadaan, sementara najis adalah zat atau benda.
b.      Hadas membatalkan wudhu sementara najis tidak.
c.       Hadas membatalkan shalat sementara najis tidak.
d.      Hadas diangkat dengan bersuci (wudhu, mandi, tayammum), sementara najis dihilangkan cukup dengan dicuci sampai hilang zatnya.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hadast dan najis itu jauh perbedaannya, menyucikan hadast itu dengan cara wudhu, mandi besar, dan tayamum. Sedangakan cara membersihkan najis dari suatu tempat yang terkena najis itu bisa dilakukan dengan cara diatas tergantung jenis najisnya, apa itu najis mukhaffafah atau  najis mutawasitah atau najis mugalazah sampai sampai najis itu benar benar hilang wujud, sifat, dan rasanya.
Dari uraian di atas kita bisa memetik beberapa perbedaan antara hadas dan najis dikalangan fuqaha’ yaitu :
1.      Hadas adalah hukum atau keadaan, sementara najis adalah zat atau benda.
2.      Hadas membatalkan wudhu sementara najis tidak.
3.      Hadas membatalkan shalat sementara najis tidak.
4.      Hadas diangkat dengan bersuci (wudhu, mandi, tayamum), sementara najis dihilangkan cukup dengan dicuci sampai hilang zatnya.






Dosen : dirgantara wicaksono
matakuliah : pkn 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar