BAB I
PERKEMBANGAN MANUSIA
(HUMAN DEVELOPMENT)
A.
DEFINISI PERKEMBANGAN
Perkembangan
manusia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhannya. Pertumbuhan adalah sesuatu
yang menyangkut materi jasmaniah yang dapat menumbuhkan fungsi dan bahkan
perubahan fungsi pada materi jasmaniah.
Menurut
Robert E. Slavin (2008) istilah “perkembangan” merujuk pada bagaimana orang
tumbuh menyesuaikan diri, dan perubahan sepanjang perjalanan hidup mereka
melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosioemosional,
perkembangan kognitif serta perkembangan bahasa.
Ciri – ciri
prinsip perkembangan menunjukan gejala yang secara relatif teratur. Sehingga
terjadi pola perkembangan sistematik.
Atas dasar tersebut ; Djaali (2008) merumuskannya dalam bentuk prinsip –
prinsip perkembangan yaitu :
1) Perkembangan merupakan fungsi
jasmaniah dan kejiwaan yang berlangsung dalam proses satu kesatuan yang
menyeluruh ( integrated)
2) Setiap individu mempunyai kecepatan
perkembangan
3) Perkembangan seseorang, baik secara
keseluruhan maupun setiap aspek tidak konstan melainkan berirama
4) Proses perkembangan dengan mengikuti
pola tertentu
5) Proses perkembangan berlangsung
secara berkesinambungan
6) Antara aspek perkembangan yang satu
dengan aspek perkembangan yang lain saling berkaitan atau berkolerasi secara
signifikan
7) Perkembangan berlangsung dari pola
yang bersifat umum pola khusus
8) Perkembangan dipengaruhi oleh
hereditas dan lingkungan
9) Memiliki fungsi kepribadian yang
bersifat jasmaniah.
Adapun
fungsi kepribadian yang bersifat kejiwaan, misalnya fungsi perhatian, fungsi
pengamatan, fungsi tanggapan, fungsi ingatan, fungsi fantasi, fungsi pikiran,
fungsi perasaan, dan fungsi kemauan.
B.
TEORI – TEORI PERKEMBANGAN
1. Teori awal : preformasionalisme (john
locke dan J.J Rousseau)
Dalam teori preformasionalisme
berangkat dari pandangan bahawa anak – anak sebagai makhluk yang berbentuk
utuh, sebuah miniatur orang dewasa.
Selanjutnya J.J Rousseau, membagi 5
tahap perkembangan, fungsi, dan kapasitas kejiwaan manusia yaitu :
1) Masa bayi (usia 0 – 2 tahun)
2) Masa anak – anak (usia 2 – 12 )
3) Masa kanak – kanak akhir (usia 12 –
15 tahun)
4) Masa dewasa (usia 15 – 20 tahun)
5) Masa pematangan (setelah umur 20
tahun)
2.
Teori pendewasaan/kematangan (Gesell)
Gesell merupakan orang yang pertama
kali dikenal dalam mengembangkan tes kecerdasan bayi, pertumbuhan dan
perkembangan anak. Menurut Gesell bahwa anak dipengaruhi oleh dua faktor utama.
Pertama, anak adalah produk dari lingkungannya, namun yang lebih fundamental
lagi adalah berasal dari dalam diri anak, yaitu aksi gen – gen tubuhnya, dan
menyebut ini sebagai proses kematangan,
3.
Teori Etologis (Charles Darwin)
Pada esensinya teori Darwin berjalan
sebagai berikut, bahwa diantara anggota sebuah spesies, terdapat variasi yang
tak terhitung jumlahnya, dan diantara anggota yang bermacam – macam itu, hanya
kelompok tertentu yang bisa bertahan hidup dan meneruskan keturunannya.
Khusus pada manusia, pengembangan
rasio jauh lebih krusial dari pada tingkah laku sosial dalam mempertahankan
hidupnya. Secara fisik manusia lebih lemah dan lambat dibanding dengan spesies
lain, mereka harus mengandalkan kepandaian dan penemuan mereka ( seperti dalam
penggunaan alat – alat) untuk bertahan hidup. Dengan demikian, mestinya
kemampuan untuk bertingkah laku sosial dan rasio menjadi landasan dalam semua
seleksi alam.
4.
Teori organismik dan komparatif
Warner ingin mengikat teori
perkembangan dengan orientasi organismik dan komparatif. Perkembangan menurut
warner mengacu kepada lebih dari sekedar berlalunya waktu, kita bisa tumbuh
menjadi tua namun tidak berkembang.
5. Teori perkembangan kognitif (jean
piaget)
Pengembangan teori ini, piaget
membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode
utama yang berkolerasi dengan dan semakin canggih seiring penambahan usia yaitu
:
1)
Periode sensorimotor (usia 0 – 2
tahun)
2)
Tahapan pra-operasional (usia 2 – 6
tahun )
3)
Tahapan operasional konkrit (usia 7 –
12 tahun)
4)
Tahapan operasional formal (usia 12
tahun sampai dewasa)
6. Teori tahapan perkembangan moral
(kohlberg)
Tentang perkembangan moral, kohlberg
lebih menyoroti tentang perkembangan moral pada manusia, menurutnya ada 6
tahapan perkembangan moral manusia, yaitu :
Tingkat pertama,bahwa moralitas prakonvensional yaitu terdiri dari :
·
Tahap
1 kepatuhan dan orientasi hukuman
·
Tahap
2 individualisme dan pertukaran
Tingkat kedua, moralitas konvensional
·
Tahap
3 hubungan – hubungan antar pribadi yang baik
·
Tahap
4 memelihara tatanan sosial
Tingkat ketiga, moralitas pasca – konvensional
·
Tahap
5 kontrak sosial dan hak hak individual
·
Tahap
6 prinsip – prinsip universal
7. Teori psikoanalitik (sigmund freud)
Menurut sigmund freud , ada 6 tahap perkembangan
fisiologis,yaitu:
1)
Oral (usia 0 – 1 tahun)
2)
Fase anal (usia 1 – 3 tahun)
3)
Fase falish ( usia 3 – 5/6 tahun)
4)
Fase latent (usia 5/6 – 12/13 tahun)
5)
Fase pubertas (usia 12/13 – dewasa )
6)
Fase genital (20 s/d seterusnya)
8. Teori delapan tahap kehidupan manusia
(erick erikson)
Secara teoritis ada 8 tahap kehidupan manusia yaitu :
1) Oral
2) Anal
3) Falik (odipal)
4) Latensi
5) Pubertas (genital)
6) Dewasa muda
7) Dewasa
8) Usia senja
BAB II
KERAGAMAN INDIVIDU
(INDIVIDUAL DIFFERENCES)
A.
PERBEDAAN INDIVIDU
Perbedaan
individual seorang anak akan terjadi pada setiap aspek perkembangan anak itu.
Aspek perkembangan tersebut diantaranya adalah pada aspek perkembangan fisik, intelektual,
moral, maupun aspek kemampuan. Perbedaan pada aspek perkembangan fisik jelas terlihat
daripada bentuk, berat, dan tinggi badan. Selain itu, perbedaan fisik juga
dapat diidentifikasi dari segi kesehatan anak. Sedangkan perbedaan pada aspek
perkembangan intelektual dapat dilihat sejalan dengan tahapan usia, kemampuan
anak pun meningkat.
Piaget dan
kohlberg masing – masing mempunyai pandangan tersendiri tentang perbedaan pada
aspek perkembangan moral. Piaget mempunyai pandangan bahwa moralitas berkembang
pada 2 tahap utama, yaitu tahap hambatan moralitas dan moralitas kerja sama
sedangkan kohlberg melukiskan 3 tingkatan alasan moral, yaitu : pra-conventional morality, conventional
morality, dan post-conventional morality.
B.
LABELING
Sebuah label
tidak menunjukan metode mana yang digunakan untuk individu – individu siswa.
Sebagai contoh, hanya sedikit “perlakuan” spesifik yang secara otomatis
mengikuti “diagnosis” disabilitas intelektual, ada banyak macam strategi dan
materi pengajaran yang appropriate. Label masih membuka pintu bagi beberapa
program khusus, informasi yang bermanfaat, teknologi dan peralatan khusus, atau
bantuan finansial. Labeling barangkali menstigmastisasi dan sekaligus membantu
siswa.
Person first language
“Person
- first language” (“student with intellectual diabilities”, student place at risk” dan
lain – lain) adalah salah satu alternatif untuk label – label yang
mendeskripsikan seseorang yang begitu kompleks dengan satu atau dua kata saja,
yang mengimplikasikan bahwa kondisi yang diberi label adalah aspek terpenting
orang itu. Dengan person first languange penekanannya pertama – tama adalah
pada diri siswa. Bukan pada tantangan khusus yang dihadapinya.
Perbedakan antara disability dan
handicap.
Disability (disabilitas) adalah ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu
yang spesifik, misalnya melihat atau berjalan. Handicap (kecacatan) adalah keadaan yang kurang menguntungkan dalam
situasi – situasi tertentu. Guru harus menghindari kemungkinan untuk memberikan
handicap pada siswa – siswa dengan
disabilitas.
C.
Hakekat perbedaan individu
Murid pada tingkat yang sama memiliki
keterkaitan yang berbeda – beda. Mereka sama pada banyak hal, tetapi bahkan ada
juga yang sangat berbeda. Salah satu keberanian utama seorang guru adalah
menghadapi tugas besar dalam melayani perbedaan diantara siswa didalem kelas.
Perbedaan – perbedaan tersebut dalam hal:
1. Perbedaan intelegensi (kecerdasan)
2. Perbedaan gaya pembelajaran
3. Perbedaan kepribadian dan temperamen
D.
Dampak perbedaan terhadap
pembelajaran
Mereka berbeda dalam tingkat kinerja,
kecepatan belajar dan gaya belajar, kesukkuan, budaya, kelas sosial, bahasa
dalam keluarga, dan jender. Beberapa menderita cacat dan beberapa berbakat
dalam satu bidang atau lebih. Perbedaan itu dapat mempunyai implikasi penting
bagi pengajaran, kurikulum dan kebijakan serta praktek sekolah. Perbedaan –
perbedaan di atas akan mempengaruhi proses pengajaran dan pembelajaran
disekolah.
1. Dampak perbedaan budaya
2. Dampak perbedaan status sosio –
ekonomi
3. Dampak perbedaan suku dan ras
4. Dampak perbedaan jender
5. Dampak perbedaan bahasa dan program
dwibahasa
6. Dampak perbedaan lingkungan keluarga
E.
Pendidikan multikultural
Banks
(Slavin,2008) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai sesuai yang
meliputi seluruh kebijakan dan praktek yang dapat digunakan sekolah untuk
meningkatkan hasil pendidikan bukan hanya dari siswa berlantar belakang etnis.
Kelas sosial dan agama yang berbeda, melainkan juga bagi siswa dari jender yang
berbeda (misal anak – anak yang mempunyai keterbelakangan jiwa, kehilangan
pendengaran, kehilangan penglihatan atau yang berbakat.
Banks juga
membahas lima dimensi utama pendidikan multikultural :
1) Intergarasi lsi
2) Kontruksi pengetahuan
3) Pengurangan prasangka
4) Pedagogi keadilan
5) Budaya sekolah yang memberdayakan
F.
Menghadapi perbedaan individu di
dalam kelas
Terdapat
bermacam – macam cara untuk menghadapi perbedaan individu terkait dengan
kemampuan dasarnya. Siswa dengan kemampuan rata – rata cenderung berorientasi
pada buku, pembelajaran lambat tidak diharapkan mampu membicarakan semua topik
dalam program reguler, dan pembelajar cepat cenderung memerlukan pendalaman
materi dan pengayaan dalam pemecahan masalah. Pembelajaran lambat dalam tingkat
penyelididkan memerlukan bantuan benda – benda konkrit, sementara pembelajaran
cepat memerlukan penguasaan.
Terdapat dua
keuntungan memiliki siswa yang memiliki perbedaan tingkat kedewasaan dan
kemampuan operasi. Pertama, program relatif mudah untuk dikelola. Semua siswa
memulai setiap unit secara bersama – sama dalam sebuah kelompok. Kedua, efektif
dalam pemberian tugas dan pengelolaannya.
Namun perlu
disadari bahwa anak – anak dalam belajar matematika memiliki keperluan yang
berbeda dalam waktu yang berbeda. Kita harus mampu melaksanakan pembelajaran
dengan mempertimbangkan kepentingan per individu dan kelompok.
·
Variasikan
waktu
·
Variasika
perhatian
·
Memanfaatkan
orang – orang
·
Variasikan
kurikulum pembelajaran
·
Variasikan
penyampaian materi pengajaran
·
Variasikan
metode mengajar
BAB III
INTELEGENSI DAN MULTIPLE INTELEGENSI
A.
INTELEGENSI
1.
Pengertian intelegensi
Intelegensi adalah suatu keahlian memecahkan
masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari pengalaman hidup
sehari hari. Dimana minat terhadap intelegensi seringkali difokuskan pada
perbedaan individual dan penilaian individual (kaufman & lictenberger,
2002; molfse & martin, 2001). Perbedaan individual adalah cara dimana orang
berbeda satu sama lain secara konsistensi dan tetap.
2.
Perkembangan intelegensi
Perkembangan intelegensi anak menurut
piaget mengandung tiga aspek, yaitu : structure,
content, dan function. Hal ini dibuktikan jean piaget dengan melakukan
penelitian pada perkembangan intelektual anak sejak lahir hingga dewasa.
Hasil penelitian itu, piaget membagi
perkembangan intelegensi menjadi empat tahap, yaitu :
1. Tahap sensorik – motorik
2. Tahap berpikir praoperasional
3. Tahap operasional konkrit
4. Tahap berpikir operasioanal formal
B.
TEORI – TEORI INTELEGENSI
1. Teori faktor (charles spearman)
2. Teori struktur intelegensi (guilford)
3. Teori multipke intelegence (gardner)
4. Teori uni faktor ( wilhelm stern )
5. Teori multifaktor ( E.L thorndike)
6. Teori primary mental ability (
thurstone )
7. Teori sampling (godfrey H. Thomson)
8. Entity theory
9. Incremental theory
C.
FAKTOR – FAKTOR MEMPENGARUHI
INTELEGENSI
Intelegensi antara orang yang satu
dengan yang lain berbeda – beda. Hal ini karena adanya beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain adalah
:
1. Faktor pembawaan
2. Faktor minat pembawaan yang khas
3. Faktor kematangan
4. Faktor kebebasan
D.
ALAT UKUR
1. Tes intelegensi individual
a. Tes stanford – binet (the stanford –
binet test)
Tes ini berawal tahun 1994, dimana
pada saat itu para pejabat sekolah ingin mengurangi sekolah yang penuh sesak
dengan cara memindahkan murid yang kurang mampu belajar disekolah umum
kesekolah khusus, sehingga menteri pendidikan perancis meminta psikologi alferd
binet menyusun metode guna mengidentifikasi anak – anak yang tidak mampu
belajar disekolah.
Pada tahun 1912, seorang psikolog
asal jerman, william stern menciptakan konsep intelegence quotient (IQ), yaitu usia menntal seseorang dibagi
dengan usia kronologis (chronologucal
aga-CA) dikali dengan 100. Rumusnya adalah IQ = MA/CA X 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis, IQ
orang itu adalah 100. Jika usia mental diatas usia kronologis, maka IQ nya
lebih dari 100.
b. Tes skala wechsler (the wechsler
tests)
Tes lain yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi murid
adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh david wechsler. Santrock
(2007:136) menjelaskan, tes ini mencakup wechsler
preschool and primary scale of intelegence – revised (WPPSI –R) untuk
menguju anak usia 4 hingga 6 1/2 tahun wechlsler
intelegences scale fro children – revised (WISC-R) untuk anak dan remaja,
dari usia 6 hingga 16 tahun, serta wechsler
adult intelligence scale – revised (WAIS-IC)
2. Tes intelegensi kelompok
Tes intelegensi seperti tes stanfors
– binet dan wechsler dilakukan berdasarkan basis individual. Selain tes
intelegensi individu, terdapat juga tes intelegensi kelompok. Tes intekegensi
kelompok mencakup lorge – thorndike intellegence test, kuhlman – anderson
intelegence test, dan otis – lennon school mental abilities test
(santrock,2007:137). Tes kelompok merupakan tes yang lebih nyaman dan ekonomis
daripada tes individu, namun terdapat kekurangan juga didalamnya.
E.
MULTIPLE INTELLEGECES
1. Pengertian multiple intelegensi
Multiple intelegences adalah sebuah
penilaian yang melihat secara deskriptif bagaimana individu menggunakan
kecerdasannya untuk memecahkan maslah dan menghasilkan sesuatu. Pendekatan ini
merupakan alat untuk melihat bagaimana pikiran manusia mengoprasikan dunia,
baik itu benda – benda yang konkret maupun hal – hal yang abstrak.
2. Jenis – jenis multiple intellegences
Gardner mengemukakan definisi
kecerdasan yang berbeda untuk mengukur cakupan potensi manusia yang lebih luas,
baik anak – anak maupun orang dewasa. Gardner membagi kecerdasan kedalam 8
kecerdasan yang akhirnya menjadi teori – teori, yaitu :
1. Word smart (kecerdasan linguistik)
2. Logic smart (kecerdasan logika –
matematika)
3. Body smart (kecerdasan fisik)
4. Picture smart (kecerdasan visual –
spasial)
5. Self smart (kecerdasan intrapersonal)
6. People smart (kecerdasan
intrapersonal)
7. Music smart (kecerdasan musical)
8. Nature smart (kecerdasan naturalis)
BAB IV
SISWA DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS
(STUDENT WITH SPECIAL NEED)
A.
Pengertian anak berkebutuhan khusus
Anak dengan
kebutuhan khusus adalah anak – anak yang sangat istimewa, melalui mereka kita
dapat belajar menghargai, mensyukuri apa yang tuhan telah berikan dan berbagi
dengan orang lain. Suatu hal yang menjadi kebutuhan sebagai manusi yang
notabene adalah makhluk sosial. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita sadar
bahwa mereka ada, merkea merupakan bagian dari kita, kita membutuhkan mereka
sebagaimana mereka membutuhkan kita dan mereka memiliki hak yang sama dengan
kita sebagai makhluk tuhan dan warganegara.
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa
dimensi yang penting dan fungsi kemanusiaannya. Mereka secara fisik,
psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan atau kebutuhan
dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, gangguan
bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosiaonal, anak yang berbakat
dan intelegensi tinggi, dikategorikan sebagai anak khususluar karena memerlukan
penanganan dari tenaga profesional (suran & rizzo,1979).
B.
Kategori ketidakmampuan anak
Yang
dikategorikan anak berketidakmampuan adalah :
1. Tunanetra : buta sebagian, buta total
2. Tunarungu : tuli sebagian, tuli total
3. Tunawicara : bisu sebagian, bisu
total
4. Tunagrahita/keterbelakangan mental :
retardasi mental dapat dicurigai pada bayi yang usianya masih muda
5. Tunadaksa : cacat fisik
6. Tunalaras : gangguan prilaku,
gangguan emosional
7. Tunaganda : gabungan dari dua atau
lebih kelainan/kecacatan dalam segi fisik, mental, emosi, dan social
8. Kesulitan belajar : anak anak yang
mengalami hambatab pada satu atau lebih proses – proses psikologis dasar yang
mencakup pengertian atau penggunaan bahasa lisan maupun tulisan, dimana
hambatannya dapat berupa ketidakmampuan memndengar, berfikir, berbicara,
membaca, menulis, mengeja atau berhitung.
9. Autisme : suatu gangguan perkembangan
yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan imajinasi.
10. Gangguan pemusatan perhatian –
hiperaktifitas : gangguan untuk mempertahankan fokus perhatian pada masalah
yang dihadapi.
Peserta didik yang memiliki kelainan
menurut permendiknas nomer 70 tahun 2009 terdiri atas :
1. Tunanetra
2. Tunarungu
3. Tunawicara
4. Tunagrahita
5. Tunadaksa
6. Tunalaras
7. Kesulitan belajar
8. Lamban belajar
9. Autis
10. Memiliki gangguan motorik
11. Menjadi korban penyalahgunaan
narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya
12. Memiliki kelainan lainnya
13. Tunaganda
C.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus
Pendidikan
khusus di indonesi bagi siswa dengan kebutuhan khusus sebenarnya telahada mulai
dari tingkat TKLB, SDLB, SMLB,dan SMALB. Satuan pendidikan tersebut tersebar
diseluruh wilayah indonesia, walaupun belum merata disetiap provinsi.
Keberadaan SLB ( Sekolah Luar Biasa ) yang tersebar dibeberapa wilayah sebenarnya
belum mampu untuk menampung seluruh anak yang mempunyai keterbatasan. Kondisi
ini juga disebabkan mahalnya biaya menyekolahkan anak yang mempunyai
keterbatasan yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sehingga mereka
membiarkan anaknya tetap dalam kungkungan keluarga, yang rata – rata kurang
memahami pula terhadap perkembangan anaknya.
Beberapa
jenis terapi untuk anak dengan kebutuhan khusus
1) Terapi wicara : membantu anak
melancarkan otot – otot mulut sehingga membantu anak berbicara lebih baik
2) Terapi okupasi : untuk melatih
motorik halus anak
3) Terapi bermain : mengajarkan anak
melalui belajar sambil bermain
4) Terapi medikamentosa/obat – obatan
(drug therapy) : dengan pemberian obat – obata olehdokter yang berwenang
5) Terapi melalui makanan ( diet
therapy) : untuk anak – anak dengan maslah alergi makanan tertentu
6) Sensory integration therapy : untuk
anak – anak yang mengalami gangguan pada sensorinya
7) Auditory integration therapy : agar
pendengaran anak lebih sempurna
8) Biomedical treatment/therapy :
penanganan bimedis yang palinh=g mutakhir melalui perbaikan kondisi tubuh agar
terlepas dari faktor – faktor yang merusak (dari keracunan, logam berat, efek
casomorphine dan glidorphine, alergen, dsb)
D.
Pendidikan inklusi
1. Latar belakang pendidikan inklusi
Pendidikan inklusi merupaka
konsekuensi lanjut dari kebijakan global Education
for all yang dicanangkan UNESCO 1990. Kebijakan Education for all itu sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak
asasi manusi dalam pendidikan yang dirancang dalam Deklarasi Universal Hak- Hak
Asasi Manusia 1949. Konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak
memiliki hak untuk menerima pendidikan yang tidak diskriminatif atas dasar
hambatan fisik, etnis, agama, bahasa, jender dan kecakapan. Pendidikan inklusi
yang dideklarasi dalam konferesnsi dunia tentang pendidikan untuk kebutuhan
khusus disalamanca, spanyol, 1994.
Pendidikan inklusi merupakan
perkembangan pelayanan pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusi, selama
memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama – sama
tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang ada pada mereka.
2. Pengertian pendidikan inklusi
Pendidikan inkluisi mempunyai
pengertian yang beragam. Stainback dan stainback (1990) mengemukakan bahwa
sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa dikelas yang sama.
Sekolah menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tapi sesuai
kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, bantuan dan dudkungan dapat diberikan
guru agar anak anak berhasil. Lebih dari itu sekolah inklusi merupakan tempat
tiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas, saling membantudengan guru
dan teman sebaya, dan anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya
terpenuhi.
3. Landasan kekuatan pendidikan inklusi
Pendidikan inklusi memiliki kekuatan
yang luar biasa karena memiliki landasan yang berakar dari budaya bangsa
indonesia, yaitu landasan filosofis utama, penerapan pendidikan inklusi
diindonesia adalah pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita – cita
didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yanng disebut bhineka tunggal
ika (mulyono,2003).
Sistem pendidikan harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi anntar siswa yang beragam, sehingga
mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
bertoleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita – cita dalam kehidupan
sehari- hari.
a. Landasan yuridis internasional
b. Landasan pedagogis
c. Landasan empiris
d. Landasan spiritual
4. Aspek hukum anak berkebutuhan khusus
Sama seperti halnya anak – anak norma
lainnya. Anak – anak dengan “special needs” juga berhak untuk memperoleh
pendidikan. Walaupun mereka memiliki hambatan maupun kekurangan. Hal ini
sebaiknya bukan menjadi alasan untuk tidak memerhatikan kebutuhan belajar
mereka.
Pendidikan adalah hak seluruh warga
negara tanpa membedakan asal – usul, status sosial ekonomi, maupun keadaan
fisik seseorang termasuk anak – anak yang mempunyai kelainan sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31. Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional, hak asasi anak untuk memperoleh pendidikan dijamin
tanpa adanya diskriminasi termasuk anak – anak yang mempunyai kelainan atau
anak yang berkebutuhan khusus.
Hal ini juga sesua dengan konvensi
PBB tentang hak anak, pasal 23, yang antara lain berbunyi :
1) negara mengakui bahwa anak penyandang kecacatan mental ataupun fisik
seyogyanya menikmati kehidupan yang layak dan utuh, dalam kondisi yang menjamin
martabat, meningkatkan kemandirian serta memberi kemudahan kepada anak untuk
berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
2) ... mengaku hak anak atas perhatian khusus ... sesuai dengan
sumber-sumber yang tersedia...
3) Mengakui kebutuhan khusus anak penyandang cacat ... dengan
mempertimbangkan sumber keuangan orang tua atau orang lain yang mengasuh anak
tersebut ... menjamin bahwa anak penyandang cacat itu diberi kesempatan dan
memperoleh pendidikan, pelatihan, layanan kesehatan, layana rehabilitasi,
penyiapan untuk memperoleh pekerjaan dan kesempatan rekreasi dalam cara yang
kondusif bagi anak untuk mencapai integrasi sosial sepenuhnya dan perkembangan
pribadinya, termasuk perkembangan cultural dan spiritualnya.
5.
Strategi pembelajaran untuk semua
anak
Upaya merealisasikan layanan
pendidikan yang sesuai dengan kemapuan setiap anak dari masing-masing
kelompoknya. Sebaiknya menggunakan strategi pembelajaran berdasarkan pada
keberagaman (differentiation) kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda.
Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan secara efektif melalui penyesuaian
antara kemampuan belajar mereka dengan harapan/target, alokasi waktu, tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang
diberikan pada anak-anak dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun
mereka belajar dalam satu kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama.
Misalanya harapan atau target belajar matematika untuk anak SD kelas III SD
yang cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan mampu
menggunakan perkalian dalam soal cerita dengan analisisnya pada tahapan
berpikir abstrak.
Sedangkan untuk anak-anak yang
kemampuan belajarnya rata-rata (avereg performers), misalnya mempelajari topik
perkalian hanya sampai ratusan pada tahap semi konkrit, untuk anak yang lambat
belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan dengan tahapan
konkrit, serta bagi anak autis mempelajari matematika sampai ratusan dengan
lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep
melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan
sebagainya).
6.
Aspek-aspek penting dalam pendidikan
inklusi
Aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam
menyelenggarakan sekolah yang inklusi adalah :
1) Guru perlu mengetahui bagaimana cara
mengajar anak latar belakang dan kemampuan yang beragam.
2) SEMUA siswa memiliki hak untuk
belajar
3) Guru menghargai semua anak
4) Dalam lingkungan pembelajaran yang
inklusi setiap orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus
belajar, bekerja, dan bermain bersama
5) Lingkungan pembelajaran inklusi
mengajarkan kecakapan hidup (life skill) dan gaya hidup sehat, agar peserta
didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari
penyakit dan bahaya. Selain itu tidak ada kekerasan terhadap anaka, pemukulan
atau hukuman fisik.
Adapun manfaat
pembelajaran yang inklusi sebagai berikut :
1) Manfaat bagi anak : kepercayaan diri
nya berkembang bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya
2) Manfaat bagi guru : mendapat
kesempatan belajar cara mengajar yang baru dalam melakukan pembelajaran bagi
peserta didik yang mengalami latar belakang dan kondisi yang beragam.
3) Manfaat bagi orangtua : orang tua
dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana anakya dididik
4) Manfaat bagi masyarakat : masyarakat
lebih merasa bangga ketika lebih banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran
BAB V
TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
A. Sejarah perkembangan psikologi behaviorisme
Behaviorisme merupakan transisi dari
psikologi sebelumnya (psikologi struktualisme dan fungsionalisme). Psikologi
behaviorisme memaknai belajar sebagai studi tentang prilaku dan sistem ini
mendapat dukungan kuat dalam perkembangannya pada abad ke 20 di amrika serikat.
Psikologi behaviorisme cenderung memandang perilaku manusia dapat diamati dan
dikuantifikasi memiliki makna sendiri, serta tidak hanya berfungsi sebagai
perwujudan mental yang mendasarinya.
B. Belajar menurut tokoh behaviorisme
behaviorisme adalah aliran psikologi
yang menekankan pada tingkah laku dan perilaku manusia sebagai makhluk relatif
yang memberikan respon terhadap lingkungan sekitar. Pengalaman dan
pengkondisian akan membentuk perilaku orang tersebut. Pengertian belajar meurut
behaviorisme berpengaruh pada arah pengembangan teori dan praktek pendidikan
dan pembelajaran. Aliran behaviorisme menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Adapun peristiwa yang terjadi ketika proses
belajar diabaikan.
Prinsip-prinsip pembelajaran
behaviorisme
Teori belajar behaviorisme
mengutamakan pengukuran dan pengamatan sebab pengukuran dan pengamatan
merubakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut. Adapun prinsipnya sebagai berikut :
·
Reinforcement
and funishment
·
Primery
and secondary reinforcement
·
Prinsip
premarck
·
Operant
conditioning
C. Tokoh-tokoh behaviorisme
1. Thorndike (kaidah efek) 1874-1949
2. Watson (conditioning) 1878-1958)
3. Clark hull
4. Skinner (operant conditioning)
5. Ivan pavlov (conditioning) 1849-1936
6. E.R Guthrie (Law of Assiociation)
1886-1959
D. Struktur manusia menurut teori belajar behaviorisme
Aliran behaviorisme secara eksplisit mengabaikan
aspek psikis manusia, hal ini disebabkan faktor psikis tidak dapat diukur dan
diamati secara nyata. Dalam pandangan dunia barat, perkembangan manusia
didasari pada tiga aspek yaitu : biologi, kognitif dan emosi. Ajaran islam
menyatakan bahwa perkembangan manusia terdiri dari struktur eksternal dan
internal. Struktur eksternal terdiri dari panca indera atau hal-hal yang dapat
dilihat oleh mata. Struktur internal terdiri dari ruh, nafs, kalbu, akal dan
nafsu. Diketahui teori belajar behaviorisme lebih cenderung menilai output
belajar hanya pada aspek jasmani oleh karena itu teori belajar behaviorisme
masih memiliki kekurangan.
Akan tetapi dalam pemikiran islam
teori dan pemikiran behaviorisme dalam melakukan observasi dan pengukuran yang
merupakan suatu ijtihad yang baik sebab tanpa ujicoba kita tida bisa menilai
seseorang (QS. At-taubat 16).
E. Implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran
Teori belajar behaviorisme dan
empirisme maka implikasi proses proses pembelajarannya adalah (teacher
oriented) yakni hanya dikuaasai oleh guru, sedangkan siswa hanya sebagai obyek
pembelajaran dan meredam potensi kecerdasan alami siswa yang telah dibawaa
sejak dalam ruh, rahim, dan dunia.oleh karena itu teori belajar behaviorisme
jika dihubungkan dengan salah satu tujuan pendidikan yakni mengembangkan
potensi-potensi yang telah dimiliki oleh anak didik dari sejak lahir, sesuai
dengan firman Allah yang menyatakan bahwa manusia telah dibekali berbagai macam
potensi untuk menjalani kehidupannya didunia, potensi tersebut adalah rasa
ingin tahu, bakat, minat kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berbagai
potensi tersebut harus dibina agar berfungsi dengan baik dalam proses
pembelajaran. Tidak semua mata pelajaran dapat menggunakan teori behaviorisme,
hal ini dapat dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dimana siswa
dituntut aktif dalam mencari sumber lain selain bahan ajar dari guru.
F. Aplikasi teori behaviorisme terhadap proses pembelajaran
Teori belajar behaviorisme banyak
digunakan dalam proses pembelajaran sebab memiliki beberapa keunggulan
diantaranya :
1. Membantu guru memahami proses belajar
yang tejadi dalam diri siswa
2. Mengerti kondisi dan faktor yang
dapat mempengaruhi, memperlancar atau menghambat proses belajar.
3. Memudahkan melakukan proses evaluasi
terhadap hasil belajar.
Hal hal yang dituntut terhadap guru
jika menggunakan teori belajar behaviorisme adalah :
1. Guru harus memahami karakteristik
siswa dan karakteristik lingkungan belajar.
2. Tingkat keberhasilan siswa selama
kegiatan belajar dapat diketahui. Merumuskan tujuan belajar secara jelas dan
spesifik supaya mudah dicapai dan diukur.
Hal-hal yang harus dimiliki anak
dalam proses belajar behaviorisme
1. Anak dapat mengerti dan memahami
orang lain
2. Anak mampu mengungkapkan keinginan
3. Anak dapat memahami dan melakukan apa
yang diperintahkan atau yang diajarkan pada guru.
Prinsip teori belajar behaviorisme
Prinsip-prinsip teori behaviorisme.
Beberapa prinsip tersebut adalah :
1. Stimulus dan respon faktor penting
dalam proses pembelajaran.
2. Reinforcement (penguatan untuk
memunculkanrespon siswa)
3. Sering diadakan pelatihan dan
pengulangan (pengkondisian)
Langkah umum dalam menerapkan teori
behaviorisme pada proses belajar mengajar :
1. Mengindentifikasi tujuan pembelajaran
2. Melakukan analisis pembelajaran
3. Mengidentifikasi karakteristik dan
kemampuan awal pembelajaran
4. Menentukan indikator-indikator
keberhasilan belajar.
5. Mengembangkan bahan ajar
6. Mengembangkan strategi pembelajaran
7. Mengobservasi stimulus yang akan
diberikan
8. Mengamati dan menganalisa respon
pembelajaran
9. Memberikan penguatan baik positif
maupun negatif
10. Merevisi kegiatan pembelajaran
Kelebihan teori belajar behaviorisme
1. Sangat akurat dan cocok jika
digunakan dalam bidang yang membutuhkan praktek dan pembiasaan
2. Sangat relevan jika digunakan pada
pendidikan usia dini dan sekolah dasar tingkat pertama.
BAB VI
TEORI BELAJAR KOGNITIF SOSIAL
(COGNITIVE AND SOCIAL THEORIES OF LEARNING)
A.
Teori kognitif sosial
teori
kognitif sosial (social cognitive theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan
kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor
kognitif berupa ekspektasi siswa untuk meraih keberhasilan, faktor sosial
mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orang tuanya.
B.
Pembelajaran observasional
Pembelajaran
observasional disebut sebagai pembelajaran imitasi atau modeling adalah
pembelajaran yang dilakukan dengan mengamati atau meniru perilaku orang lain,
kapasitas untuk mempelajari pola prilaku dengan observasi dapat mengeliminasi
pembelajaran trial and error serta membutuhkan waktu yang relatif pendek
dibandingkan pengkondisian operan.
Menurut
banduran (1986) proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran observasional
ada empat, yaitu proses atensi, retensi, produksi dan motivasi, seperti
diperlihatkan pada gambar berikut :
a. Atensi
b. Retensi
c. Produksi
d. Motivasi
C.
Menggunakan pembelajaran
observasional secara efektif
Agar pembelajaran observasional
menjadi efektif perlu dipertimbangkan hal-hal berikut, yaitu:
1. Pertimbangan tipe model
2. Tunjukan dari ajari perilaku baru
3. Menggunakan teman sebaya sebagai
model yang efektif
4. Mentor digunakan sebagai model
5. Undang tamu kelas
6. Pertimbangan model yang dilihat anak
ditelevise
D.
Teknologi dan pendidikan
Salah satu acara televisi yang
bertujuan mendidik anak-anak adalah ‘sesame street’ yang didesain untuk
mengajarkan keterampilan kognitif dan sosial (cole,richman &brown, 2001),
dimana pada film tersebut juga ditampilkan kejadian kehidupan riil. Pengajaran
dapat dilakukan secara langsung terutama yang berhubungan dnegan keahlian
kognitiof. Sedangkan untuk keahlian sosial ditampilkan dengan serangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan tema yang ditampilkan.
E.
Pendekatan perilaku kognitif dan
regulasi diri
Dalam
pendekatan perilaku kognitif adalah mengubah perilaku dengan menyuruh orang
untuk memonitor, mengelola mengatur perilaku untuk memonitor, mengelola dan
mengatur perilaku sendiri, bukan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Menurut
meinchenbaum(1971) dengan pendekatan ini membantu mengubah miskonsepsi dari
siswa, memperkuat keahlian siswa dan mendorong refleksi diri yang konstruktif.
F.
Evaluasi pendekatan kognitif sosial
Pendekatan
kognitif sosial memberikan kontribusi penting untung mendidik anak.
Pembelajaran dilakukan dengan mengamati dan mendengarkan model yang kompeten
dan kemudian meniru apa yang mereka lakukan.
Beberapa
kelemahan dalam menggunakan teori kognitif sosial dikelas adalah kesulitan
dalam menerapkan porsi self efficacy dan komponen regulasi diri.
BAB VII
PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF
A.
Pembelajaran yang efektif
Pembelajaran
adalah suatu perubahan dalam diri sesorang yang disebabkan oleh pengalaman
(Driscoll, dalam Slavin: 2008). Penyediaan lingkungan pembelajaran yang efektif
meliputi strategi yang digunakan guru untuk menciptakan pengalama ruang kelas
yang positif dan produktif.
Penciptaan
lingkungan pembelajaran yang efektif melibatkan pengorganisasian kegiatan di
ruang kelas, pengajar, dan ruang kelas fisik untuk memungkinkan penggunaan
waktu yang efektif, menciptakan lingkungan pembelajran yang produktif, serta
meminimalisir bentuk-bentuk gangguan.
B.
Dampak waktu pada pembelajaran
Alokasi waktu
adalah waktu yang tersedia bagi siswa untuk mempunyai kesempatan belajar.
Ada beberapa
cara untuk meminimalisasikan alokasi waktu yang hilang dalam pengajaran.
1. Menggunakan semua waktu diruang kelas
dengan baik
2. Mencegah permulaan yang terlambat dan
penyelesaian dini
3. Mencegah gangguan dari dalam atau
dari luar
4. Menangani prosedur rutin
5. Meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk
disiplin
6. Menggunakan waktu yang sibuk dengan
efektif
C.
Menciptakan lingkungan pembelajaran
Lingkungan
pembelajaran adalah sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran
dilaksanakan. Sedangkan kondusif berarti kondisi yang benar-benar sesuai dan
mendukung keberlangsungan proses pembelajaran. Proses pembelajaran merupaka
interaksi antara anak dengan lingkungannya, sehingga pada diri anak terjadi
proses pengolahan informasi menjadi pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai
hasil dari proses belajar.
Situasi
pembelajaran yang kondusif dan bersinergi bagi semua anak (kusmoro,2008)
1. Desain lingkungan fisik
Terdapat empat prinsip yang dapat dipakai dalam menata kelas
:
a. Kurangi kepadatan ditempat lalu
lalang
b. Pastikan bahwa guru dapat dengan mudah
melihat semua anak
c. Materi pengajaran dan perlengkapan
anak harus mudah diakses
d. Pastikan siswa dapat dengan mudah
melihat semua presentasi kelas
2.
Pengelolaan kelas yang pasif untuk
pembelajaran
Upaya menciptakan lingkungan positif bagi siswa dapat pula
dilakukan dengar memberikan hadiah terhadap perilaku yang tepat. Untuk
pemberian imbalan dalam mengelola kelas, guru harus dapat memilih penguat yang
efektif, menggunakan prompt dan shapping secara efektif
D.
Komunikasi efektif antara guru dengan
siswa
Seorang
guru dapat menggunakan strategi dibawah
ini untuk berinteraksi dengan siswa dan melatih keterampilan siswa dlam
mendengar aktif :
1. Memberikan perhatian cermat pada
orang yang sedang berbicara
2. Melakukan parafrasa
3. Mensistesiskan tema dan pola
4. Memberi umpan balik atau tanggapan
dengan cara yang kompeten
E.
Pengelola sebagai sistem
1. Pengertian dan keguanaan sistem
Menurut sanjaya (2008), sistem adalah
salah satu kesatuan yang satu sama yang lain saling terkait dan saling
berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai
dengan tujuan yang telah diterapkan.
Proses perencanaan yang sistematis
dalam proses pembelajaran yang mempunyai beberapa keuntungan diantaranya:
1. Melalui sistem perencanaan yang
matang
2. Melalui sistem perencanaan yang
sistematis
3. Melalui sitem perencanaan
2. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap sistem pembelajaran
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan
proses sistem pembelajaran, diantaranya:
a. Faktor guru
b. Faktor siswa
c. Faktor sarana dan prasarana
d. Faktor lingkungan
3. Komponen-komponen sistem pembelajaran
Setiap guru perlu memahami secara baik peran dan fungsi
metode dan strategi dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
a. Strategi pembelajaran
b. Strategi, model, dan metode
pembelajaran
c. Macam-macam strategi pembelajaran
BAB VIII
PENGELOLAAN KELAS
(CLASSROOM MANAGEMENT)
A.
Pengertian pengelolaan kelas
Pengelolaan
kelas terdiri dari dua kata, yaitu pengelolaan dan kelas. Kata pengelolaan
diartikan “manajemen”. Manajemen adalah kata yang aslinya dari bahasa inggris
yaitu “management” yaitu ketatalaksanaan dan tata pemimpin.
Petugas yang
terkait dalam pengelolaan kelas adalah guru kelas atau guru bidang studi
langsung bertanggung jawab dalam mengadakan diagnosa dan menentukan tindakan
yang akan diambil.
B.
Faktor-faktor mempengaruhi
pengelolaan kelas
Berbagai
faktor yang menyebabkan kerumitan dalam pengelolaan kelas. Secara umum dibagi
menjadi dua faktor yaitu : faktor intern dan faktor ekstern siswa. Faktor
intern siswa berhubungan dengan masalah emosi, pikiran dan perilaku. Sedangkan
faktor ekstern siswa terkait dengan pengelolaan suasana lingkungan belajar,
penempatan siswa, pengelompokan siswa.
C.
Peranan guru dalam pengelolaan kelas
Guru harus
mampu mengelola kelas karen merupakan lingkungan belajar serta merupakan suatu aspek dari lingkungan
sekolah yang perlu di organisir. Lingkungaan itu hendaknya mampu diciptakan
oleh guru dengan kegiatan-kegiatan yang sesuai dan baik, serta terarah pada
tujuan yang ingin dicapai dengan jalan menciptakan suasana rasa aman, menentang
dan merangsang siswa untuk belajar, serta memberikan kepuasan dalam mencapai
tujuan yang ditentukan. Dengan demikian pada dasarnya peranan guru sebagai
pengelola kelas dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu :
1. Merencanakan
2. Mengorganisasikan
3. Memimpin
4. Mengawasi
D.
Pengelolaan kelas yang efektif
Untuk mengelola kelas yang efektif
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Kelas adalah kelompk kerja yang
diorganisir untuk tujuan tertentu
b. Dalam situasi kelas guru bukan tutor
untuk satu anak pada waktu tertentu, tapi bagi anak atau kelompok
c. Kelompok mempunyai perilaku sendiri
yang berbesa dengan perilaku masing-masing individu dalam kelompok itu
d. Kelompok kelas mempersiapkan
pengaruhnya kepada naggota
e. Praktek guru waktu belajar cenderung
terpusat pada hubungan guru dan siswa
f.
Struktur
kelompok pada komunikasi dan kelompok ditentukan oleh cara guru mengelola.
E.
Penataan ruang kelas
Penyusunan dan pengaturan ruang
belajar hendaknya memungkinkan anak duduk berkelompok dan memudahkan guru
bergeraj secara leluasa untuk membantu siswa dalam belajar. Dalam masalah
pengaturan tempat duduk, pengaturan alat-alat pengajaran, penataan keindahan
dan kebersihan kelas, ventilasi serta cahaya.
F.
Pendekatan dalam pengelolaan kelas
Berbagai pedekatan adalah seperti
dalam uraian berikut :
a. Pendekatan kekuasaan
b. Pendekatan ancaman
c. Pendekatan kebebasan
d. Pendekatan resep
e. Pendekatan pengajaran
f.
Pendekatan
perubahan tingkah laku
g. Pendekatan sosio emosional
h. Pendekatan kerja kelompok
i.
Pendekatan
elektis atau pluralistik
BAB IX
ASSESMENT DAN EVALUASI DALAM PEMBELAJARAN
A.
Kelas sebagai konteks penilaian
Proses
penilaian ada yang harus dilakukan dan ada yang tidak harus dilakukan dalam
pembuatan tes pembelajaran :
1. Penilaian adala sebuah proses yang
terus menerus, ini adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh guru untuk
menentukan apakah muridnya sudah belajar dengan baik atau belum.
2. Penilaian bisa berupa memberi
pertanyaan kepada murid, memonitor murid sambil berkeliling kelas saat
pelajaran berlangsung dan memerhatikan muka murid yang bingung atau senyum
murud yang memahami pelajaran.
3. Memberi ujian setiap soal pada tes
harus berhubungan dengan sasaran pengajaran
4. Berhati-hatilah dalam menulis soal
agar sesuai dengan level murid.
B.
Penilaian sebagai bagian integral
pengajaran
Guru harus menghabiskan
lebih banyak waktu dalam penilaian ketimbang yang anda bayangkan, dalam suatu
analisis, mereka menghabiskan 20-30 persen waktu profesinal untuk menghadapi
persoalan penilaian (stiggins,2001).
Pandangan
integrasi instruksi dan penilaian dari segitiga kerangka : pra-instruksi,
selama instruksi dan pasca instruksi. Standard
for teacher competence in education assesment, yang dikembangkan
bersama-sama pada awal 1990-an oleh american
federation of teacher, national council on measurement in educatoin national
education association, yang mendeskripsi kan tanggung jawab guru atas
penilaian murid dalam tingga kerangka.
1. Penilaian pra-intruksi : jangan
membuat ekspektasi yang akan mendistirsi persepsi anda tentang murid.
2. Penilaian selama instruksi : penilaian
formatif adalah penilaian selama jalannya pelajaran atau instruksi, bukan
setelah pelajaran selesai.
3. Penilaian pasca-instruksi : penilaian
sumatif adalah penilaian setelah instruks selesai, dengan tujuan mencatat
kinerja murud, penilaian sesudah instruksi akan menghasilkan informasi tentang
seberapa baiklah murid kita dalam menguasai materi, apakah murid sudah untuk
peljaran lanjutan, grade yang harus diberikan kepada mereka, komentar kepada
orang tuanya dan bagaimana kitra harus menyesuaikan instruksi (McMillan, 2001).
DOSEN : DIRGANTARA WICAKSONO
MATKUL : PEMBELAJARAN PKN DI SD